Surabaya, korannasional.id - Umat Islam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awal 1447 H, bertepatan dengan Jumat, 5 September 2025. Peringatan ini seharusnya menjadi momentum untuk mengenang kembali perjalanan hidup Rasulullah, meneladani sifat-sifat mulia beliau seperti jujur, amanah, dan berakhlak mulia, serta merefleksikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di berbagai daerah, peringatan Maulid Nabi dirayakan dengan meriah. Presiden, DPR, gubernur, bupati, wali kota, DPRD, hingga camat dan lurah hadir bersama para ulama serta tokoh agama. Namun pertanyaannya: apakah Maulid Nabi sekadar menjadi perayaan seremonial? Bagaimana seharusnya sikap para penyelenggara negara, khususnya yang beragama Islam, terhadap peringatan ini?
Dalam sistem sekuler, peringatan Maulid Nabi kerap hanya sebatas acara seremonial—berhenti di lantunan shalawat, dzikir, dan pujian. Padahal esensi Maulid adalah menumbuhkan kesadaran akan hadirnya sosok teladan terbaik yang membawa cahaya peradaban. Nilai-nilainya semestinya sejalan dengan Pancasila, khususnya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila ketiga Persatuan Indonesia. Namun kini, makna luhur itu perlahan seakan hilang ditelan zaman.
Maulid Nabi sejatinya bukan hanya penghormatan atas kelahiran Rasulullah, melainkan simbol solidaritas yang menyatukan masyarakat lintas kelas sosial dan ekonomi. Sayangnya, setelah puluhan tahun diperingati, ia seringkali hanya menjadi rutinitas tanpa arah. Padahal, meneladani Nabi berarti berani melawan penindasan, menegakkan kemanusiaan, dan memperjuangkan keadilan.
Kehidupan Nabi Muhammad SAW memberi pelajaran tentang keberanian moral. Beliau menghadapi tekanan, ancaman, bahkan isolasi ketika menentang sistem bobrok kaum Quraisy yang menindas kaum lemah demi mempertahankan kekuasaan. Konteks itu sangat relevan dengan kondisi Indonesia masa kini: korupsi yang telah berurat-akar, bukan hanya di kalangan elit politik, tetapi juga merasuki birokrasi hingga kehidupan sehari-hari.
Korupsi di negeri ini telah berubah dari sekadar kejahatan menjadi sistem yang diwariskan, dijalankan, bahkan dianggap lumrah. Jika benar bangsa ini ingin meneladani Nabi, maka keberanian moral untuk melawan budaya korupsi harus diwujudkan dengan nyata. Meneladani Nabi artinya menolak pungutan liar, mendesak transparansi, menuntut integritas, dan berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Itu bukan hanya tugas aparat penegak hukum, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh rakyat.
Hikmah Maulid Nabi adalah rasa syukur atas kelahiran Rasulullah yang memberi teladan. Syukur itu seharusnya diwujudkan dalam iman yang semakin kokoh, dalam persatuan yang kian erat, serta dalam tindakan nyata agar bangsa dan negara tidak hancur berkeping-keping. (Eko Gagak)