Jember, korannasional.id - Hampir dua dekade lalu sejak derasnya air bercampur lumpur menghantam Desa Suci, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Parmuji, warga setempat, masih mengingat betul teriakan warga dan dentuman air yang membawa lumpur dan batang kayu pada malam kelam di awal 2006 itu.
Bencana banjir bandang yang merenggut ratusan nyawa itu tak hanya menyisakan duka, tapi juga menjadi titik balik bagi warga Desa Suci untuk lebih peduli terhadap alam di sekitarnya.
“Dulu kami hanya bisa pasrah. Tapi kalau sekarang, kami ingin mencegah sebelum terlambat,” ujar Parmuji yang kini dikenal sebagai penggerak lingkungan, saat mengenang peristiwa yang menandai masa mudanya, Jumat (7/11/2025).
Desa Suci yang berada di hulu sungai belajar dari masa lalu. Warga sadar, pengelolaan sampah baik dari rumah tangga maupun pertanian bisa menjadi kunci mencegah bencana serupa.
Kesadaran itu tumbuh seiring tekad Desa Suci yang kini menasbihkan diri sebagai Kampung Proklim, desa yang tanggap terhadap perubahan iklim. Dari sinilah, semangat baru bermula.
Ihsannudin, dosen Fakultas Pertanian Universitas Jember (UNEJ), melihat peluang untuk menjadikan kesadaran itu sebagai gerakan nyata.
Ia bersama timnya menggerakkan warga untuk mengelola sampah. Tak sekadar membersihkan lingkungan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru.
“Isu bencana dan ekonomi sering kali menjadi pemantik kuat bagi masyarakat untuk bergerak,” ujar Ihsan.
Gayung bersambut, program Pemberdayaan Desa Binaan dari Kemendikbudristek pun hadir mendukung inisiatif Desa Suci.
Melalui teknologi sederhana yang mereka sebut “bata bolong”, para petani anggota Kelompok Tani (Poktan) Harapan kini mampu mengolah limbah pertanian menjadi pupuk organik tanpa perlu proses rumit.
“Biasanya petani malas bikin pupuk karena ribet. Dengan bata bolong, cukup diamkan saja, dan 30 hari kemudian pupuk sudah bisa dipakai,” kata Subhan Arief Budiman, Wakil Dekan III Faperta UNEJ yang juga tergabung dalam tim pemberdayaan.
Selain petani, ibu-ibu di Desa Suci pun tak mau kalah. Mereka tergabung dalam Bank Sampah Larahan Makmur. Kini mereka piawai mengubah sampah yang tak laku dijual seperti popok bekas dan plastik multilayer menjadi produk bernilai ekonomi.
“Dulu, dua jenis sampah ini dianggap tak berguna. Sekarang bisa jadi pot tanaman dan mulsa pengganti plastik konvensional,” kata Senki Desta Galuh, pakar teknik lingkungan dari Universitas Muhammadiyah Jember yang mendampingi kelompok tersebut.
Pot dari limbah popok kini dijual dengan harga Rp 10.000 hingga Rp 50.000 per buah, sementara mulsa hasil olahan plastik multilayer mampu menghemat biaya hingga Rp 250.000 per gulung bagi petani cabai.
Langkah-langkah kecil itu perlahan memberi nilai besar. Desa Suci kini bukan hanya dikenal sebagai Desa Tanggap Bencana (Destana), tetapi juga sebagai contoh nyata penerapan ekonomi sirkular di tingkat lokal.
“Pengelolaan sampah harus dimulai dari rumah tangga. Itu cara kami menjaga alam, menjaga masa depan," kata Sekretaris Desa Suci, Akhmad Rikhwan.
Upaya kolaboratif bersama Ecoton Foundation memperkuat langkah mereka. Kini, tumpukan sampah bukan lagi sumber malapetaka, tetapi menjadi simbol perubahan dan kemandirian.
Dari reruntuhan bencana, Desa Suci membuktikan, harmoni antara ekonomi dan ekologi bukan sekadar wacana, tapi kenyataan yang bisa tumbuh dari tangan-tangan warga yang tak menyerah.